KADO DARI LANGIT
Saat
itu bulan Ramadhan. Cuaca begitu panas membuat orang-orang malas keluar dari
rumahnya. Terik matahari di siang hari menjilati kulit mereka yang
menantangnya. Angin pun seakan ikut mengalah tak berdaya untuk berhembus. Seorang
pria pulang ke rumah dengan sepeda motor yang diparkir di depan pintu masuk
rumahnya. Pria yang memakai seragam kerja batik abu-abu ditutup jaket berwarna
merah yang semakin memanaskan suasana. Suara dering handphone terus berbunyi dari
kantong celananya tapi dia acuhkan karena sepeda motornya harus dia posisikan
agar bisa dilalui orang yang mau masuk ke dalam rumahnya.
“Ah,
ini rumah terlalu sempit. Kapan aku bisa punya rumah sendiri ya” ujar pria itu
dengan sedikit senyum. Sang istri yang sedang hamil sembilan bulan sedang berbaring
disamping pintu. Ya maklumlah kamar sempit di Jakarta ini walau harga yang
relatif mahal masih diminati orang karena terdesak bukan karena suka. “Kurasa
Jin pun enggan tinggal disini” kata si pria itu. Si istri masih tetap terdiam
dan tak merespon. Badannya terasa sakit terlihat dari raut wajah yang kurang
bersahabat.
Dua
gelas air mineral langsung diteguk sambil berkata si pria kepada
istrinya “ Masih sakit? Bagaimana kalo kita langsung ke bidan aja?”
namun istrinya masih terdiam sambil mengusap perutnya yang di tutup oleh baju
daster bercorak bunga berwarna biru. Baju itu yang dibelinya sewaktu
berjalan-jalan ke tanah Abang. Si pria itu masih ingat sewaktu menemani
istrinya berjalan –jalan ke tanah Abang. Niatnya bukan ingin berbelanja tapi
memang dua sejoli ini dari dulu doyan jalan-jalan dengan kereta api kelas ekonomi.
Banyak kehidupan sosial yang bisa diamati baik di kereta, sepanjang rel kereta,
dan di pasar Tanah Abang.
Dulu
di kampungnya orang-orang bercerita tentang indahnya Jakarta penuh dengan
lampu-lampu yang menghiasi gedung-gedung pencakar langit sewaktu di malam hari.
Tapi itu hanyalah cerita teman-temannya. Sekarang baru ia sadar jangan-jangan
dulu teman-temannya itu juga belum pernah ke Jakarta. Ini dia sadari setelah
melihat langsung kehidupan yang sebenarnya di ibu kota. Rumah-rumah yang
berdiri dengan berdindingkan atap dari seng yang tua, berkarat, dan lapuk.
Banyak sampah dan barang rongsokan yang menghiasi sekeliling nya. Tapi hebatnya
mereka masih hidup. Ini yang membuat pria itu tetap merasa bersyukur walaupun
tinggal di rumah kontrakan yang sepetak. Masih banyak orang-orang yang bernasib
kurang beruntung daripada dia.
“Bang,
mau di bidan mana?” si istri akhirnya bertanya setelah berusaha mengumpulkan
tenaga untuk bersandar ke tembok kamar. Pria tadi pun akhirnya melepaskan
lamunannya. “Ya udah, kita coba lihat
yang dekat-dekat sini aja dulu” dia menjawab istrinya sambil mengetik pesan ke
nomor yang tadi menelpon berkali-kali tapi tak diangkatnya. Dia hanya menuliskan
‘tolong telpon balik’. Ya telpon itu
berasal dari tempat dia bekerja yang minta dia kembali segera karena ada
pekerjaan mendadak. Tapi dia tak perduli. Istrinya yang sedang hamil besar dan
diprediksi lahiran dalam waktu dekat lebih berarti daripada pekerjaan itu “Ah,
ini lahiran anak pertamaku” ujarnya dalam hati.
Diambilnya
kunci motor dan bergegas pergi melintasi gang-gang sekitar rumah untuk mencari
dimana ada pamflet bertuliskan praktek bidan. Akhirnya ketemu juga. Sebuah rumah
cukup besar bertingkat yang dijadikan tempat praktek bidan sekaligus tempat
tinggal. Kembali dia pulang dan menghampiri istrinya sambil berkata” Uda
ketemu, kemasi tas dan pakaianmu, ayo!” si pria tadi masih cemas kalo calon
bayinya lahir seminggu lagi karena minggu depan itu sudah lebaran dan
orang-orang pasti sibuk untuk urusan pulang kampung sebelum hari H.
Kecemasan
tadi pun bersambut. Sang bidan mengatakan “lebih baik kita induksi ya
kelahirannya” tapi pria itu dan istrinya kebingungan dan serentak bertanya
sambil mengernyitkan dahi “Induksi itu apa bu?” wajah si istri semakin
kelihatan tidak bersahabat karena cemas yang berlebihan. Namun dengan nada yang
lembut si Bidan menjawab “ya nggak apa-apa kok” dia berusaha menenangkan. “Induksi
itu proses sedikit mempercepat waktu kelahiran dari jadwal yang normal ya bisa
satu hari atau dua hari lebih cepat” si pria itu sudah paham apa maksudnya
namun si bidan tetap melanjutkan keterangannya “ Kalo menunggu dua hari lagi
saya uda beli tiket kereta ke Jawa. Ini kan waktu-waktu orang mau pulang
kampung. Kalo setuju, istrinya sudah bisa tinggal mulai saat ini disini. Kita
kasih obat perangsang kelahirannya ya” ujar si bidan.
Si
pria itu tidak punya pilihan. Dia tidak punya argumen lain. Dia tidak mau
merepotkan saudara-saudaranya yang sibuk bekerja di luar kota. Orang tuanya pun
sakit-sakitan sehinggah tidak bisa mengunjungi mereka di Jakarta. Mertuanya pun
sama juga. “Ya, paling tidak aku masih punya Tuhan, istri, dan calon anakku
disini. Aku harus tetap semangat” ujarnya dalam hati.
Pria
itu pun bergegas pulang ke rumah untuk mengemasi perlengkapan lain untuk
kelahiran seperti termos berisi air panas, kain sarung, dan sedikit biskuit.
Dia sudah terbiasa dengan keadaan mandiri dari sejak kecil. Almarhum ibunya
dulu sangat disiplin mendidik kelima anak-anaknya. Maklumlah beliau bekerja
sebagai guru SD yang sekolahnya berjarak kurang lebih 10 km dari rumah kediaman
mereka. Jadi, semua harus bangun setiap pagi jam 5.00, shalat , dan membantu
pekerjaan rumah. Ada yang mencuci piring, menyapu rumah, menyapu halaman, dan
membantu menanak nasi dan air untuk minum. Ibu mereka memasak lauk dan sayur
untuk sarapan. Pria tadi yang merupakan anak pertama di keluarga itu
benar-benar terlatih menjadi pemimpin adik-adiknya.
Segera
ia bergegas ke klinik bidan tadi dan menghampiri istrinya yang sudah terkujur
lemas di atas kasur persalinan. Tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut
keduanya. Tak lupa ia mengeluarkan Alquran dari kantong plastik yang ia bawa
tadi untuk diletakkan di atas rak samping tempat tidur. Ya kitab suci itulah
yang menguatkan dirinya untuk tetap tegar dan sabar akan keadaan hidup ini. Dia
yakin Tuhannya tidak akan pernah meninggalkannya.
Si
pria tadi duduk di sebuah bangku plastik berwarna biru yang disediakan
disamping tempat tidur. Ya kamarnya juga tidak luas, hanya bisa di tempati
empat orang dalam keadaan duduk dengan si pasien berbaring di tempat tidur.
Tapi tempat itu cukup layak lah untuk orang berekonomi pas-pasan seperti dia. Sepreinya bersih, kamarnya bercat
putih terang dan Bidan serta perawatnya juga ramah.
Jam
berjalan terus, waktu shalat magrib pun tiba. Pria itu bangkit dari bangkunya
dan melihat si istri yang merasa mulai kontraksi. “Kayaknya obat yang diberikan
tadi mulai bereaksi ya” kata si pria itu. Tak banyak kata lagi yang dikeluarkan
wanita itu. Mungkin dia juga tidak akan mendengarkan bicara suaminya. Dia
sedang menahan sakit yang sangat perih sambil mengelus-elus perutnya. Pria itu
hanya bisa berdoa dalam hati sambil memijit telapak kaki istrinya. Dia tak
perduli lagi apakah istrinya mendengar atau tidak bicaranya, ia tutup kaki
istrinya dengan selimut seraya berkata, “Aku mau shalat magrib dulu”.
Diambilnya
air wudhu dekat kamar mandi, disamping kolam kecil yang ada tamannya. Taman yang
seakan jadi surga bagi penghuni di tempat itu. Hanya taman itulah yang
memberikan sedikit ketenangan jiwa ketika orang yang melintasinya memandangi
bunga-bunga dalam pot yang sedang mekar dikelilingi ikan-ikan kecil dengan
suara air mancur dari pompa listrik mini tertancap di dasar kolam. Begitu tenang
rasanya berada di sana.
Segera
setelah itu ia pun membentangkan sajadah menghadap kiblat di samping tempat
tidur istrinya. Suara merintih kecil menahan sakit terus keluar dari mulut
istrinya. Namun, shalat terus ia lakukan. Ia hanya berharap dan memohon agar
Tuhan menjaga dan menuntun mereka di saat-saat genting seperti ini.
Tak
terasa waktu shalat isya pun tiba. Sesekali sang bidan ditemani asistennya
memeriksa kondisi si istri dan dengan lembutnya ia berusaha mengajak komunikasi
pasiennya itu.
Suasana
kembali hening. Tepat pukul 1.00 dini hari, kontraksi itu muncul lagi. Sesuai
instruksi si bidan, pria itu mengetuk pintu kamar jaga si perawat yang berada
disamping kamar persalinan istrinya. Bergegas wanita muda itu membenarkan
posisi kerudungnya. Dengan mata yang masih kelihatan mengantuk ia masuk dan
menghampiri si istri. Namun sayangnya, proses kelahiran belum juga menampakkan
hasil. Pria itu hanya disuruh untuk memijit kaki istrinya agar lebih tenang.
Perlahan, rasa sakit pun mulai mereda. Si perawat hanya berpesan untuk
memanggilnya jika kontraksi hebat datang lagi.
Pukul
3.00 kontraksi hebat itu benar datang lagi, tapi pria itu kembali memijit kaki
istrinya, “Ah, nanti juga akan reda lagi, kok” katanya dalam hati. Dia juga
tidak merasa enak membangunkan perawat yang kelihatannya sangat capek dan ngantuk.
Benar saja, rasa sakit kontraksi itu mereda lagi. Tapi terus ia berdoa dan
sesekali membaca ayat-ayat Alquran disamping istrinya sampai waktu shalat subuh
tiba. Kemudian ia pun bergegas mengambil air wudhu dan melakukan shalat.
Tanpa sadar,
si pria itu terbangun dari tidurnya di atas sajadah. Suara lalu lalang orang
membuat dirinya kaget ada apa gerangan. Jam tangan menunjukkan pukul 06.30. Ia
melihat istrinya sedang tertidur pulas. “Syukurlah” ucapnya dalam hati.
Pelan-pelan ia membuka pintu dan melihat keluar. Ternyata ada pasien lain yang
mau melahirkan dan sedang dibopong ke kamar sebelah. Dia kembali ke dalam kamar
dan duduk di atas bangku plastik. Selera makannya hilang, ia hanya ambil dua
potong biskuit dan meminum hampir seperempat botol ukuran 2 liter air mineral.
Ya orangtuanya selalu ingatkan untuk minum air yang banyak jika ingin sehat.
Nasihat itu tetap ia ingat.
“Assalamu
alaikum” terdengar suara dari luar pintu. Namun orang itu langsung masuk ke
dalam kamar. Ya bidan tadi datang dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya
karena baru selesai mandi dan keramas disusul oleh perawatnya yang membawakan
sepiring bubur untuk sarapan pasien. “Bagaimana istrinya, mas? Belum ya?” Tanya
si bidan. “Ya bu, belum ada tanda” jawab pria itu. Segera setelah mengecek
kondisi istrinya yang lagi tidur, si bidan pun membuat pernyataan yang agak
mengejutkannya, “Mas, kalo belum juga lahiran sampai besok pagi, kita rujuk ke
puskesmas di Pulogadung ya” kata si bidan. Pria itu tetap diam dan agak melongo
ke wajah si bidan. Bidan itu pun melanjutkan bicaranya, “ Soalnya, saya dan
keluarga sudah beli tiket kereta ke Jawa untuk jam 08.00 pagi besok”. Pria itu
hanya bisa mengangguk pelan dan tetap terdiam. Dalam hatinya ia berucap, “Nak,
kapan sih kamu keluar?”
Waktu
berjalan seperti biasa. Kontraksi ringan mengiringi tidur si istri.
Ditinggalkannya istrinya di dalam kamar sendirian untuk menghirup udara pagi
yang bersih. Tapi pikirannya masih bergelayut. Pertama, jarak puskesmas yang
dirujuk itu cukup jauh dari rumah, “Bagaimana membawa orang yang dalam keadaan
kontraksi seperti itu kesana? Bukankah biaya tambah lagi? Aduh nak, cepat
keluarlah” ujarnya dalam hati. Kedua, dia belum tentu bisa mendapatkan
pelayanan hebat orang-orang disana seperti yang dia rasakan saat ini. Dengan kedua
tangan menengadah ke atas ia memohon pada Tuhannya, “Ya, Allah…bantu hambaMu
ini…”
Magrib
dan isya pun berlalu. Tidak ada momen penting yang perlu dicatat. Di waktu yang
sama seperti tadi malam, yaitu pukul 01.00 dini hari, kontraksi hebat datang
lagi tapi rasa sakitnya lebih hebat dari yang tadi malam. Tak mau ambil resiko
pria itu mengetuk pintu kamar yang jaga disamping. Ternyata yang berada di
kamar itu adalah si bidan. Mungkin ia beri waktu pada perawatnya untuk tidur di
kamar lain. Ya bidan itu memiliki rumah bertingkat dan cukup luas untuk
dijadikan sebagian tempatnya menjadi klinik persalinan. Dengan sigap si bidan
berjalan ke kamar pasien sambil mengeluarkan handphone nya karena ada suara
dering telepon yang berbunyi seraya ia menjawab “ Halo Dok, jadi mau kesini?.
OK, Dok terima kasih”. Langsung dia matikan panggilannya.
Ternyata
proses kelahiran induksi itu membutuhkan tenaga yang lebih ahli yaitu dokter
kandungan. Semakin berkurang rasa cemas si pria itu setelah ia tahu dokter itu
akan tiba.
Ya
seperti biasa lagi. Kontraksi hebat itu pun mereda lagi setelah kaki si istri
dipijit. Sang bidan memeriksa ke arah si calon bayi akan keluar, “Ya, gak lama
lagi kok” katanya. Tak lama berselang, si dokter pun tiba. Seorang pria paruh
baya, dengan sebuah stetoskop dikalungkan di lehernya, berjalan dan menyapa “
Assalamualaikum” dengan nada pelan. Semua pun menjawab “Wa’alaikumsalam”. Si
dokter melihat daftar catatan yang diberikan si perawat. Dia pun hanya
mengangguk kecil saja.
Si
istri tidur lagi karena kecapekan merintih. Perlahan, si bidan pun keluar dan
berkata pada si dokter “ Ini malam ganjil di minggu terakhir ramadhan. Kayaknya
beda ya, cuacanya”. Memang cuaca saat itu berbeda dengan malam sebelumnya.
Tidak ada hujan tapi terasa dingin sejuk sekali. Si dokter menjawab, “Ya
mungkin hari ini malam lailatul qadar”. Si bidan berkata “Ya saya shalat dulu
lah”. Bidan itu keluar disusul si dokter yang memeriksa pasien di kamar
sebelah.
Pria
itu pun bergegas juga keluar mengambil air wudhu untuk shalat sunnah. Dalam
shalat ia juga meminta agar dimudahkan jalan kelahiran anak pertamanya.
Jam
04.00 kontraksi sehebat-hebatnya datang diiringi teriakan si istri menahan rasa
sakit yang sangat perih. Belum sempat si pria itu memanggil bidan, si bidan
sudah menuju depan pintu bersama dengan perawatnya. Berdua mereka mendorong
tempat tidur yang beroda itu ke kamar
yang ketiga. Ternyata dokter tadi sudah menunggu dengan mempersiapkan alat-alat persalinannya. Pria itu semakin panik
dan cemas terlebih setelah melihat alat-alat bedah yang disiapkan si dokter. Setelah
sampai di kamar si dokter, si pria tadi tetap menggenggam tangan istrinya.
Sebenarnya pria itu tidak kuat untuk melihat proses persalinan istrinya. Cukup
mengerikan baginya. Dia hanya menenangkan dan memberi semangat istrinya tapi
sesekali ia penasaran melihat proses kerja si dokter. Turut juga si bidan
memberi semangat dan memberi instruksi gerakan kepada si istri untuk diikuti
agar prosesnya lancar. Di sudut yang lain, si perawat sibuk mempersiapkan bak
mandi plastik yang diisi air hangat untuk mandi si bayi.
Tiga
puluh menit berlalu, suara azan pun terdengar “Allahu akbar, Allahu akbar..”. Seiring
suara azan shalat subuh berkumandang dengan keras, si bayi pun keluar meluncur
dari rahim ibunya. Pria itu memanjatkan syukur “Alhamdulilah ya Allah” semua
juga ikut mengucapkan syukur termasuk istrinya. Bayi laki-laki itu telungkup. Kulitnya
yang putih bersih tanpa noda dengan tatapan matanya mengarah pada Bapaknya.
“Maha kuasa Engkau ya Allah” ucap si pria itu. Berkali-kali ia mengucapkan itu.
Rasa
cemas tadi pun berangsur pulih. Teringat ia pada almarhum ibunya. “Ternyata
beginilah saya dulu dilahirkan” ucapnya dalam hati. “Maafkan aku ibu” ujarnya
pelan. Teringat ia akan dosa-dosa yang sengaja ia lakukan semasa hidup ibunya.
Setelah
tali pusar dipotong, si perawat memandikan bayi itu kemudian diserahkan pada si
bidan untuk di pasangi selimut bayi, sarung tangan dan kaki yang sudah dipersiapkan
sebelumnya oleh pria tadi. Selanjutnya dia pun membacakan azan di telinga bayi
mungilnya.
Disalaminya
si bidan, perawat dan dokter di kamar itu. Ungkapan rasa terima kasih
sebesar-besarnya dia ucapkan atas bantuan mereka selama 3 hari di klinik itu.
Benar-benar ini Ramadhan yang paling indah baginya. Kado di bulan Ramadhan yang
tiada tara dari sang Ilahi. Kado dari langit yang turun di bulan itu. Benar-benar
Tuhan tidak akan tinggalkan hambaNya. Takkan pernah. “Allah Maha Penyayang”
ujarnya dalam hati sambil memandang mata si buah hatinya. Berharap ia agar
anaknya juga yakin dengan itu.